Rabu, 07 Desember 2016

Fiqih ijarah



BAB IJARAH(SEWA-MENYEWA)
            A.Pengertian dan Dasar Hukum Ijarah
            Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang berarti al-‘iwadh / penggantian,dari sebab itulah ats-tsawabu dalam konteks pahala dinamai juga al-ajru /upah.sedangkan menurut syarak,ijarah adalah memberikan kemanfaatan sesuatu dengan adanya penukaran berdasakan beberapa syarat.[1]
            Adapun secara terminologi,para ulama Fiqh berbeda pendapatnya,antara lain:
1.      Menurut Sayyid sabiq,al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2.      Menurut ulama Syafi’iyah al-ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju,tertentu,bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan,dengan cara memberi imbalan tertentu.
3.      Menurut Amir Syarifudin al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu.bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut jiarah al’ain,seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati.bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah ad-dzimah atau upah mengupah,seperti upah mengetik skripsi.sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqh disebut al-ijarah.
Dari beberapa pendapat ulama tentang ijarah,dapat disimpulkan bahwa ijarah adalah,suatu akad untuk mengambil kemanfaatan suatu barang,bukan sesuatu yang dapat mengurangi atau menghilangkan zat pelayanan dan harus membayar upah dari pemanfaatan barang yang disewa tersebut.
Al-ijarah dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyaratkan dalam islam.hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’berdasarkan ayat Al-qur’an,hadis-hadis Nabi,dan ketetapan ijmal Ulama.adapun dasar hukum tentang kebolehan al-ijarah sebagai berikut:
4 ÷bÎ*sù z`÷è|Êör& ö/ä3s9 £`èdqè?$t«sù £`èduqã_é&
Jika mereka telah menyusul anakmu,maka berilah upah mereka.(QS.at-thalaq : 6)
ôMs9$s% $yJßg1y÷nÎ) ÏMt/r'¯»tƒ çnöÉfø«tGó$# ( žcÎ) uŽöyz Ç`tB |Nöyfø«tGó$# Èqs)ø9$# ßûüÏBF{$# ÇËÏÈ
Salah seorang dari wanita itu berkata,wahai bapakku ambillah ia sebagai pekerja kita,karena orang yang  paling baik untuk dijadikan pekerjaan ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya( QS.al-Qashas: 26)
Tujuan disyariatkan al-ijarah itu adalah untuk memberi keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup.banyak orang yang mempunyai uang,tetapi tidak dapat bekerja.dipihak lain banyak orang yang mempunyai tenaga atau keahlian yang membutuhkan uang.dengan adnya al-ijarah keduanya saling mendapatkan keuntungan dan kedua belah pihak saling mendapatkan manfaat.
B.Rukun dan Syarat-Syarat al-ijarah
Menurut Hanafiyah rukun al-ijarah yaitu ijab .misalnya,kusewakan barang ini kepadamu dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi misalnya,kusewa barang ini.menurut An-Nawawi di dalam Syarhul Muhadzdzab,”perselisihan (ulama) tentang boleh atau tidak Mu’athah berlaku dalam ijarah,rahn dan hibah.hanya saja ijarah itu sah dengan ongkos sewa berwujud sesuatu yang sah,jika dibuat harga dan yang diketahui oleh dua orang yang bertransaksi,baik itu ukuran,jenis dan sifatnya,jika ongkos tersebut tidak kontan,maka cukup melihatnya.dalam hal ini,baik berupa ijarah ain(selain dzimmah),atau Dzimmah (sewa-menyewa dengan jaminan oleh yang menyewakan,bahwa barang selalu baik seperti dijanjikan dalam akad)[2]
                Adapun menurut jumhur Ulama rukun ijarah ada empat,yaitu :
            1.Dua orang yang berakad
            2. Sighat(ijab dan kabul)
            3.Sewa atau Imbalan
            4.Manfaat.
            Adapun syarat-syarat al-ijarah sebagaimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagaina berikut:
1.      Yang terkait dengan dua orang yang berakad.menurut ulama Syafi’iyah  dan hambalah disyaratkan telah balig dan berakal.oleh sebab itu,apabila orang yang belum atau tidak berakal,seperti anak kecil dan orang gila ijarahnya tidak sah.akan tetapi,ulama Hanafiyah dan Malikiyah bependapat bahwa keduaorang yang berakad itu tidak harus mencapai usia balig.oleh karenanya anak yang baru mumayyiz pun boleh melakukan akad al ijarah,hanya pengesahanya perlu persetujuan walinya.
2.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijrah,apabila salah seorang diantaranya terpaksa melakukan akad ini,maka al-ijarah nya tidak sah.hal ini sesuai dengan firmah Allah Q.S.An-Nisa : 29,yang artinya:
Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kamu saling memakan harta kamu dengan cara yag bathil kecuali melalui suatu perniagaan yang berlaku suka sama suka.
3.      Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui,sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari.apabila manfaat yang menjadi objek tidak jelas,maka akadnya tidak sah.kejelasan manfaat itu dapat dilakukan dengan menjelsakan jenis manfaatnya dan penjelasan berapa lama manfaat itu di tangan penyewanya.
4.       Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya.oleh sebab itu,para ulama fiqh sepakat,bahwa tidak boleh menyewakan sesuatu yang tidak boleh diserahkan dan dimanfaatkan langsung oleh penyewa.misalnya,seseorang menyewa rumah,maka rumah itu dapat langsung diambil kuncinya dan dapat langsung boleh ia manfaatkan.
5.      Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.oleh sebab itu,para ulam fiqh sepakat mengatakan tidak bolehmenyewa seseorang untuk menyantet orang lain,menyewa seorang untuk membunuh orang lain,demikian juga tidak boleh menyewakan rumah untuk dijadiakn tempat-tempat maksiat.
6.      Yang disewakan itu bukan sesuatu kewajiban bagi penyewa,misalnya  menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau menyewa orang untuk melaksanakan shalat untuk diri penyewa atau menyewa orang yang belum haji untuk menggantikan haji penyewa.para ulam fiqh sepakat mengtakan bahawa akad sewa menyewa seperti ini tidak sah,karena shalat dan haji merupakan kewajiban penyewa itu sendiri.
7.      Objek al-ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti,rumah,kendaraan,dan alat-alat perknatoran.oleh sebab itu tidak boleh dilakukan akad sewa menyewa terhadap sebatang pohon yang akan dimanfaatkan penyewa sebagai sarana penjemur pakaian.karena pada dasarnya akad untuk sebatang pohon bukan dimaksudkan seperti itu.
8.      Upah atau sewa dalamijarah harus jelas,tertentu,dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. [3]
Apabila rukun dan syarat diatas terpenuhi,maka sewa-menyewa menjadi sah.[4]
 C. Upaya dalam Pekerjaan Ibadah
Para Ulama berbeda pandangan dalam hal upah atau imbalan terhadap pekerjaaan-pekerjaan yang sifatnya ibadah atau perwujudan ketaatan kepada Allah. berikut ini pendapat para ulamat  tentang upah dan imbalan tersebut antara lain: 
1.      Madzhab hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti meneyewa orang lain untuk shalat,puasa,haji atau membaca Al-qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa,menjadi muadzin,menjadi imam,dan lain-lain yang sejenis.maka haram hukumnya mengambil upah dari pekerjaan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw:
إقرءو القران ولاتأ كلوابه
bacalah olehmu al-Qur’an danjanganlah kamu cari makan dengan jalan itu “.
Pada hadis lain,Rasulullah bersabda :
وإن اتخذ ت مؤذنا فلأ تأ خذ من الاذان اجرا
Jika kamu mengangkat seseorang menjadi muadzin maka janganlah kamu ambil(kau beri)dari adzan itu suatu upah.
Perbuatan seperti adzan,shalat,haji,puasa,mebaca al-Qur’an,dan dzikir adalah tergolong perbuatan untuk taqarrub kepadaAllah,karena tidak boleh mengambil upah untuk pekerjaan itu selain dari Allah.
2.      Menurut Syayyi Sabiq,pekerjaan seperti ini batal menurut hukum islam,karena yang membaca al-Qur’an bila bertujuan untuk memperoleh upah (uang) maka bagiannya tak memperoleh pahala dari Allah sedikit pun,
3.      Menurut Hendi Suhendi dalam buku fikih Muamalah,para ulama memfatwakan tentang kebolehan mengambil upah dari aktivitas yang diangggap sebagai perbuatan baik.msalnya,pengajaran Al-qur’an,guru agama,itu dibolehkan mengambil atau menerima upah,atas jasa yang diberikannya,karena merekamembutuhkan tunjangan untuk dirirnya dan keluarganya,mengingat mereka tidak mempunyai waktu untuk melakukan aktivitas lainnya selain aktivitas tersebut.
4.      Menurut madzhab Hambali,boleh mengambil upah dari pekerjan-pekerjaan mengajar Al-Qur’an dan sejenisnya,jika bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan.tetapi,haram hukumnya mengambil upah jika bertujuan untuk Taqarrub kepada Allah.
5.      Mazdhab Maliki,Syafi’i dan ibnu Hazm,membolehkan mengambil upah sebagai imbalan mengajar al-Qur’an dan kegiatan-kegiatan sejenisnya,karena hal ini termasuk jenis imbalan dari perbuatan yang diketahui (terukur) dan dari tenaga yang diketahui pula.Ibnu Hazm mengatakan bahwa pengambilan upah sebgaia imbalan mengajar al-Qur’an dan kegiatan sejenis,baik secara bulanan atau secara sekaligus dibolehkan dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya.
D.Menyewakan  Barang  Sewaan
            Menyewakan barang sewaan kepada penyewa kedua itu diperbolehkan,berikut ini beberapa pendapat ulama tentang hal tersebut,akan dijelaskan sebagai berikut :
            Menurut Sayyid Sabiq,penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain,dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal.misalnya penyewaan seekor binatang,ketika akad awal dinyatakan bahwa binatang itu disewa untuk membajak sawah,kemudian binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua,maka binatang itu harus digunakan untuk membajak pula.penyewa pertama boleh menyewakan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau kuarang sedikit atau lebih dari harga awalnya,maka ini disebut dengan Al-khulwu[5].
            Menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa,maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang ( al-Mu’jir) dengan syarat kerusakan itu buakn akibat dari kelalaian penyewa atau al-Musta’jir.(maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-Musta’jir).
E.Pembatalan Dan Berakhirnya Al-Ijarah
            Para ulama berbeda pendapat tentang sifat akad al-ijarah,apakah ijarah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak ,menurut Ulama hanafiyah berpendapat bahwa akad al-ijarah itu bersifat mengikat,tetapi boleh dibatalkan secara sepihak apabila terdapat uzur dari salah satu pihak yang berakad,uzur tersebut misalnya,salah satu pihak wafat,
            Adapun menurut Jumhur Ulama mengatakan bahwa al-ijarah itu bersifat mengikat kecuali ada cacat atau barang itu tidak boleh dimanfaatkan.akibat perbedaan pendapat ini dapat diamati dalam kasus apabila seseorang meninggal dunia.
            Sedangkan menurut Ulama Hanafiyah,apabila salah seorang meninggal dunia maka akad al-ijarah batal,karena manfaat tidak boleh diwariskan.akan tetapi Jumhur Ulama mengatakan,bahwa manfaat itu boleh diwariskan karena termasuk harta(al-Maal).oleh sebab itu kematian salah satu pihak yang berakad tidak membatalkan akad al-Ijarah.[6]
             Ada pun jika barang sewaan tersebut ternyata dijual oleh pemilik barang mak,akad sewa- menyewa itu tidaklah berakhir.dalam kasusu ini,maka penyelesaiannya harus dibicarakan oleh ketiga belah pihak,yakni pemilik lama,penyewa,dan pemilik baru.
            Dan apabila barang sewaan itu ternyata tidak sesuai dengan keinginan penyewa,atau terjadi kerusakan tertentu sehingga ia merasa terhambat dalam memanfaatkan barang sewaan,maka akad sewa-menyewa tidakah batal,hanya saja,pemilik barang diwajibkan mengganti barang.sehingga layak digunakan sesuai dengan kesepaktan awal.ketentuan ini menjadi penting agarakad persewaan menguntungkan kedua belah pihak,baikpemilik barang maupun penyewa.[7]
            Selanjutnya akan dijelaskan tentang hal-hal yang membatalakan akad al-Ijarah,menurut Al-Kasani dalam kitab at-Badaa’iu ash-Shanaa’iu,menyatakan bahwa akad ijrah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.       Objek al-ijarah hilang atau musnah seperti,rumah yang disewakan terbakar atau kendaraan yang disewakan hilang.
2.      Tenggang waktu yang disepakati dalam akad al-ijarah telah berakhir.apabila yang disewakan itu rumah,maka rumah itu dikembalikan kepada pemiliknya,dan apabiala ang disewakan itu jasa seseorang maka oorang tersebut berhak menerima upahnya.
3.      Wafatnya salah seorang yang berakad
4.      Apabila ada uzur dari salah satu pihak,sperti rumah yang disewakan disita negara karena terkait adanya utang,maka akad al-ijarahnya batal.[8]
Sementara itu,menurut Sayyid Sabiq,al-ijrah akan menjadi btal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadi cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
2.      Rusaknya barang yang disewakan,seperti ambruknya rumah,dan runtuhya bangunan gedung.
3.      Rusaknya barang yang diupahkan,seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.
4.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5.      Menurut Hanafiyah salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yangluar biasa,seperti terbakarnya gedung,terciumnya brang-barang dagangan,dan kehabisan barang modal.
F.Pengembalian Barang Sewaan
Jika akad al-ijarah sudah berakhir,maka penyewa harus mengembalikan barang sewaan tersebut,jika barang itu berupa barangyang dapat dipindah (brang bergerak),maka iawajib menyerahkannya langsung kepada pemiliknya.dan jika barang sewaan tersebut berupa barang yang tidakapt berpindah (barang yang tidak bergerak),maka ia berkewajiban menyerahkannya  kepada pemiliknya,dalam keadaan kosong,seperti keadaan semula.
Menurut Madzhab Hambali,ketika al-ijarah berakhir,penyewa harus  melepaskan barang sewaan dan tidak ada keharusan mengembalikan untuk menyerah terimakannya seperti barang titipan.
KESIMPULAN
1.      Secara etimologi al-ijarah berasal dari kata al-ajru yangberarti al-‘iwadh/penggantian.dari sebab itulah ats-Tsawabu dalam konteks  pahala dinnamai juga al-ajru/upah.dapun secara terminologi al-ijarah secara sederhana dapat diartikan dengan akadatau transaksi manfaat ataujasa dengan imbalan tertentu.bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’ain,seperti sewa menyewa rumah untuk ditempati.bila yang menjadi objek transaksi manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah ad-dzimah atau upah mengupah,seperti upah mengetik skirpsi,dll.sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fiqh disebut al-ijarah.
2.      Al-ijarah dalam bentuk sewa menyew maupun upah mengupah merupakan muamalah yang telah disyariatkan dalam islam.hukum asalnya menurut jumhur ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’berdasarkan al-qur’an,hadis-hadis nabi,dan ketetapan ijma ulama.
3.      Menurut jumhur ulamarukun ijarah ada empat,yaitu:
a.       Dua orang ayang berakad
b.      Sighat(ijab dan kabul)
c.       Sewa atau Imbalan
d.      Manfaat
4.      Syarat-syarat al-ijarah sebgai berikut :
a.       Yang terkait dengan dua orang yang berakad disyaratkan telah balig
b.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan keleraannya melakukan akad al-ijarah.
c.       Manfaat yang menjadi objek al-ijarah harus diketahui sehingga tida muncul perselisihan dikemudian hari.
d.      Objek al-ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secraa langsung dan tidak ada cacatnya.
e.       Objek al-ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’.
f.       Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g.      Objek al-ijaraha itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan seperti rumah,kendaraan,dan alat-alat perkantoran.
h.      Upah atau sewa dalam al-ijarah harus jelas,tertentu dan sesuatu yang memiliki nilai ekonomi.
5.      Madzhab hanafi berpendapat bahwa al-ijarah dalam perbuatan ibadah atau ketaatan kepada Allah seperti meneyewa orang lain untuk shalat,puasa,haji atau membaca Al-qur’an yang pahalanya dihadiahkan kepada orang tertentu seperti kepada arwah orang tua yang menyewa,menjadi muadzin,menjadi imam,dan lain-lain yang sejenis.maka haram hukumnya.
6.      Menurut Sayyid Sabiq,penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain,dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal.misalnya penyewaan seekor binatang,ketika akad awal dinyatakan bahwa binatang itu disewa untuk membajak sawah,kemudian binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua,maka binatang itu harus digunakan untuk membajak pula.penyewa pertama boleh menyewakan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewa atau kuarang sedikit atau lebih dari harga awalnya,maka ini disebut dengan Al-khulwu.
7.      al-ijrah akan menjadi btal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.       Terjadi cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
b.      Rusaknya barang yang disewakan,seperti ambruknya rumah,dan runtuhya bangunan gedung.
c.       Rusaknya barang yang diupahkan,seperti bahan baju yang diupahkan untuk dijahit.
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
e.       Menurut Hanafiyah salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan al-ijarah jika ada kejadian-kejadian yangluar biasa,seperti terbakarnya gedung,terciumnya brang-barang dagangan,dan kehabisan barang modal.
8.      Jika akad al-ijarah sudah berakhir,maka penyewa harus mengembalikan barang sewaan tersebut,jika barang itu berupa barangyang dapat dipindah (brang bergerak),maka iawajib menyerahkannya langsung kepada pemiliknya.dan jika barang sewaan tersebut berupa barang yang tidakapt berpindah (barang yang tidak bergerak),maka ia berkewajiban menyerahkannya  kepada pemiliknya,dalam keadaan kosong,seperti keadaan semula.










DAFTAR PUSTAKA
Rahman ghazaly,Abdul.,Fiqh Muamalat,Kencana Prenada Media Grup, Jakarta,2012.
Hiyadh,Abul.,terjemah fat-hul Mu’in,al-hidayah,Surabaya.
Basori,khabib.,seri tuntunan praktis ibadah”muamalah”,Yogyakarta,2007


[1] Ust.Abu Hiyadh,terjemah fat-hul mu’in juz 2,(Surabaya),hal 336
[2] Ibid,337
[3] Prof.Dr.H. Abdul Rahman Ghazaly,Fiqh muamalah,(jakarta,2012),hal279.
[4] Khabib Basori,S.H.I,seri tuntunan praktis ibadah “muamalah”,(Yogyakarta,2007)hal 21
[5] Ibid,hal 282
[6] Ibid,hal 283
[7] Khabib Basori,S.H.I,seri tuntunan praktis ibadah”muamalah”,(Yogyakarta,2007)hal 22
[8] Ibid,hal283